Harapan di Ujung Senja
Di sebuah desa kecil di kaki gunung, hiduplah seorang pemuda bernama Arga. Hidupnya sederhana, sehari-hari ia membantu ibunya mengurus ladang kecil warisan almarhum ayahnya. Namun di balik senyumnya yang hangat, Arga menyimpan sebuah mimpi besar—ia ingin menjadi pelukis.
Setiap senja, saat warna langit berubah menjadi jingga keemasan, Arga akan duduk di tepi bukit, membawa buku gambar lusuh dan kotak cat air kecil. Ia melukis apa saja yang ada di hadapannya: gunung yang menjulang, pepohonan yang menari ditiup angin, dan rumah-rumah penduduk yang berbaris rapi. Namun, ia tahu, hidup tidak semudah sapuan kuas.
Suatu sore, ketika sedang melukis, seorang anak kecil bernama Nara mendekatinya. Gadis kecil itu membawa sebuah boneka yang terlihat usang. "Mas Arga, sedang apa?" tanyanya polos.
Arga tersenyum, "Melukis senja. Kamu suka menggambar, Nara?"
Gadis kecil itu mengangguk, matanya berbinar. "Aku suka, tapi aku nggak punya buku gambar."
Arga berpikir sejenak, lalu merobek beberapa lembar dari bukunya. Ia menyerahkan kertas itu dan beberapa pensil warnanya kepada Nara. "Ini untukmu. Mulailah menggambar apa yang kamu suka."
Wajah Nara berseri-seri. "Terima kasih, Mas Arga!" ia berseru sebelum berlari pulang.
Hari-hari berlalu. Nara sering datang ke bukit menemani Arga. Ia menunjukkan gambar-gambarnya yang semakin lama semakin baik. Arga senang melihat semangat gadis kecil itu, meskipun ia sendiri masih berjuang dengan mimpinya.
Hingga suatu hari, datang kabar dari kota. Sebuah kompetisi seni akan diadakan, dengan hadiah beasiswa untuk belajar seni rupa. Namun, untuk mengikuti kompetisi itu, peserta harus membayar biaya pendaftaran yang tidak murah bagi Arga.
Ibu Arga, yang mengetahui keinginan putranya, berkata, "Kita bisa menjual beberapa hasil panen untuk biaya pendaftaranmu."
Arga menggeleng. "Panen itu untuk kebutuhan kita, Bu. Aku nggak mau kita kekurangan."
Namun, tanpa sepengetahuan Arga, Nara dan beberapa warga desa mengumpulkan uang untuknya. Mereka percaya pada bakat Arga dan ingin melihatnya sukses.
Pada hari terakhir pendaftaran, Nara menyerahkan amplop berisi uang kepada Arga. "Ini dari semua orang, Mas. Mereka ingin Mas Arga ikut lomba."
Arga tertegun, matanya berkaca-kaca. Ia memeluk Nara. "Terima kasih. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
Di kota, Arga melukis dengan seluruh jiwa dan raganya. Ia membuat sebuah karya berjudul Harapan di Ujung Senja, menggambarkan bukit tempat ia sering melukis bersama Nara, dengan warna-warna yang mencerminkan kehangatan dan harapan.
Beberapa minggu kemudian, Arga menerima kabar yang mengubah hidupnya. Ia memenangkan kompetisi itu. Desa kecilnya bersorak gembira. Kini, Arga berangkat ke kota untuk mengejar mimpinya, membawa harapan seluruh desa bersamanya.
Namun, setiap ia pulang, senja di bukit itu tetap menjadi tempat favoritnya, di mana segalanya dimulai—tempat ia belajar bahwa mimpi bisa terwujud jika dikejar dengan hati tulus dan didukung oleh cinta dari orang-orang terdekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar